Selasa, 03 Juni 2014
patologi birokrasi di indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalsm, dan profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi pemerintah adalah: efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris serta wujud terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat untuk mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan
karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif. Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang absolut berkorupsi secara absolut pula). Namun pendapat Acton bahwa absolutism dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi ‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Namun, Birokrasi Weberian yang diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum.
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi menurut Sondang P. Siagian bersumber pada lima masalah pokok yaitu:
a) Persepsi gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok dan nepotisme
b) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan
c) Tindakan pejabat yang melanggar hukum dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.
d) Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif seperti sewenang wenang, pura pura sibuk dan diskriminaitf
e) Akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja dan sistem pilih kasih.
B. LATAR BELAKANG
1. Apa yang di Maksud Patologi Birokrasi?
2. Apa yang Dimaksud Birokrasi?
3. Seperti Apa Patologi Birokrasi Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PATOLOGI BIROKRASI
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar dapat diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan Negara mampu mengahadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosiokultur dan teknologikal.
Risman K. Umar (2002) mendefenisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku organisasi yang menyimpang dari nilai nilai etis, aturan aturan dan ketentuan ketentuan perundang undangan serta norma norma yang berlaku dalam birokrasi.
Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai antara lain:
1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
2. Pengaburan masalah
3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi mempertahankan status quo
5. Empire building (membina kerajaan)
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidak pedulian pada kritik dan saran
8. Takut mengambil keputusan
9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif
11. Minimmya pengetahuan dan keterampilan.
B. PENGERTIAN BIROKRASI
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
C. PATOLOGI BIROKRASI DI INDONESIA
Setelah memahami birokrasi bisa dianalisis fenomena penyakit yang menjangkiti birokrasi di Indonesia. Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki pengertian penyakit. Dari pengertian diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah untuk menggambarkan bahwa dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan menggejala dalam sebuah sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus karena permasalahan kultur. Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik yang ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan dengan moral Sumber Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena meskipun perekrutan dilaksanakan secara terbuka namun masih ada fenomena kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang memanfaatkan ”simbiosis mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu penataan kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.
Simbiois mutualisme yang terjadi dengan mempertukarkan atau bisa jadi sebuah hubungan atau relasi kekeluargaan yang mengesampingkan kualitas sehingga pada saat mereka melakukan pelayanan publik kurang optimal karena keterbatasan kemampuanakibat perekrutan yang dilakukan sebuah formalitas belaka. Mental yang dimilikipun sudah ada ”bawaan” mental korup karena pada saat memasuki sistemada sumber daya yang mereka pertukarkan dengan si patron (orang yang memiliki kekuasaan). Pada akhirnya mental sebagai abdi negara tidak muncul yang ada hanyalah mental yang taat pada ”si patron” sehingga kepentingan publik menjadi terbengkalai. Hubungan ini bisa diibaratkan seperti lingkaran setan.
Untuk memangkas rantai ini bukan hal yang mudah karena perekrutan yang dilaksanakan secara terbuka bahkan tanpa mempertukarkan sumber dayapun dapat terjangkiti penyakit karena ”orang sehat” masuk ke tempat yang kotor atau tempat yang banyak menghasilkan bibit penyakit dan menularkan penyakit sangat mampu membuat orang yang sehat menjadi sakit dan menyebarkan virus ke yang lainnya. Untuk itulah diperlukan sebuah kekebalan atau imunitas agar virus itu tidak menggerogoti yang lain. Bagi yang sudah terkena penyakit hendaklah disembuhkan terlebih dahulu. Mencari format baru untuk menata birokrasi Indonesia bisa dilakukan dengan pembangunan mental (mental building) yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Propf.Dr.Sondang P.Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi
2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional
3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif
5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah.
Berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut :
1. Dalam hubungan dengan berpola patron- klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif.Perlu membuat peraturan Undang – Undang- Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat
2. Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik
3. Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
4. Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik
5. Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
6. Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman,skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi sebagai sebuah usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha yang seperti telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma, perilaku dan orientasi pelayanan kepada publik.
B. SARAN
Terimah kasih telah membaca tugas ini, namun saya menghimbau agar lebih banyak lagi untuk membaca referensi-referensi lain karena masih banyak pembahasan-pembahasan mengenai apa yang di bahas di dalam tugas ini di referensi-referensi lainnya, seperti halnya buku ataupun media elektronik dan media cetak lainnya.
Kami sebagai penyusun tugas ini menyadari bahwa begitu banyak keurangan-kekurangan yang terdapat di dalam tugas ini, oleh karena itu kami mengharapkan keritikan ataupun saran yang sifatnya membangun dan dapat mengembangkan,memperbaiki, dan memajukan tugas ini kedepannya. Keritik dan saran para pembaca akan kami jadikan pelajaran untuk memperbaiki tugas kami kedepannya (selanjutnya) agar bias lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Badu.2008.Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pelayanan Publik.Jurnal Administrasi Publik. Volume IV.PKP2A LAN Makasar
Supriyadi,Gering. 2009. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Lembaga Administrasi Negara
Susanto dkk,2010.Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah. PT Gelora Aksara Pratama Erlangga. JakartA
Wahyu,Mardyanto.2011.Kerangka pencegahan Konflik di Indonesia.BAPPENAS-PTD-LIPI-UNDP,Jakart
Witianti,Siti.2007.Budaya Politik dan Pembangunan.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjajara
Yansyah,Ali.2009.Perpektif Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan Usaha Milik Daerah.Jurnal Volume IV No.2.LIPI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar