BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keinginan untuk mengetahui dan
membandingkan masyarakat transis Negara berkembang dan Negara maju merupakan
latar belakang di buatnya makalah ini.
Selain itu, makalah ini dibuat
dengan tujuan agar dapat digunakan sebagaimana mestinya pada saat diskusi di
kelas, dalam hal ini bahwa makalah ini dibuat sebagai pegangan dan acuan serta
batasan-batasan pertanyaan dan bahan diskusi yang akan di bahas.
- PENGERTIAN MASYARAKAT TRANSISI
Masyarakat
transisi (prismatic society) ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari
suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang
mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari
pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
2. POLA HUBUNGAN MASYARAKAT TRANSISI
DENGAN MASYARAKAT YANG LAINYA
Masyarakat
transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke
masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi
ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai
masuk ke sektor industri.
Hubungan
kelompok masyarakat transisi terhadap kelompok masyarakat lain memiliki pola
yang tidak pasti. Banyak masyarakat transisi yang masih mengedepankan kehidupan
social yang lama , ( yakni sesuai dengan hubungan kelompok masyarakat desa ),
namun banyak juga masyarakat transisi yang sudah mulai meninggalkan pola
hubungan masyarakat desa dan berpindah pada pola hubungan masyarakat perkotaan.
Pola
hubungan masyarakat desa ditentukan oleh nilai, adat , kebiasaan , serta
budaya tertentu, seperti nilai gotong royong , nilai saling mengenal,
budaya berinteraksi , kebiasaan menunggu, kebiasaan saling bergantung , adat ritual,
dan sebagainya. Sedangkan masyarakat kota hubungan sosialnya lebih di tentukan
oleh kepentingan profesi dan sebagaian besar tidak terikat oleh nilai dan
budaya tertentu sehingga masyarakat kota memiliki sikap individual yang
tinggi, kurang mengenal satu sama lain,di penuhi rasa kecurigaan , suka
menerobos, mudah tersinggung, dan sebagainya.
Masyarakat transisi umumnya memiliki
hubungan social yang mengadopsi dari kota dan desa yakni suka menerobos,mudah
tersinggung, kurang memperhatikan adat dalam bergaul, sikap individual mulai
menonjol, dalam mencapai tujuan bersama kurang menjunjung etika gotong royong,
rasa saling membutuhkan satu sama lain mulai memudar dan mereka mulai
kehilangan nilai dan norma yang asli.
Contoh
dari masyarakat transisi yaitu masyarakat yang tinggal di suatu desa yang
mengalami kemajuan serta perubahan sehingga desa tersebut mangalami proses
perubahan dari desa menjadi kota.
Berdasarkan konsepsi tipe
masyarakat menurut Fred W. Riggs, Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai
negara dengan tipe masyarakat prismatik (prismatic society) yang
diwarnai dengan pluralitas etnik, linguistik, religik, dan aliran.
Tabel
2.1 Pembagian Masyarakat Menurut Riggs (1985)
Masyarakat Tradisional
|
Masyarakat Modern
|
Masyarakat Transisi
|
-
Masyarakat agraria/diffused
-
Nilai askripsi: mementingkan faktor keturunan dan partikularis-me
(suku, agama,adat istiadat, dsb)
-
Spesialisasi belum berkembang
-
Feodal-absolut
|
-
Masyarakat industri/diffracted
-
Nilai prestasi/ achievement dan universalisme
-
Spesialisasi tinggi
-
Sistem politik demokratis
-
Birokrasi rasional/Weber
|
-
Masyarakat prismatik
-
Transisi dari tradisional ke modern
-
Secara formal modern tapi nilai tradisi tetap masih dominan
-
Formalism
|
Dalam
bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat
Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional,
prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai
masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model
masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan,
supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi
upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan
pesan itu apa adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat
homogen serta tekstual.
Adapun
masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat
terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat model ini bisa ditandai
lewat organisasi. Masyarakat modern lebih menampakkan sifat heterogen dan
rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik ada di ruang tengah antara
masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat modern (memencar). Pluralitas
budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk
memusat menuju memencar.
Rumusan
ini diadopsi Riggs dari teori optik yang mengiaskan pesan sebagai cahaya yang
masuk ke prisma (segi tiga). Selain prisma tersebut sebagai pemantul cahaya, juga
memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Masyarakat jenis prismatik
biasanya tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis. Dalam
kultur masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan
rasional dan pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini
lantas menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan
manusia. Kondisi macam inilah yang membentuk polynormativisme sebagai
ciri khas masyarakat model prismatik.
Riggs
melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah
berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society,
fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum
berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi tersebut
telah terpencar dan organisasinya telah berkembang. Model prisma menunjukkan
masa transisi dan berada di antaranya, dan merupakan model dari birokrasi di
banyak negara berkembang.
Dengan
demikian, latar belakang perbedaan antara keduanya terletak pada dua aspek: (1)
tingkat perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan;
dan (2) lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan sistem nilai serta
penerapan sasaran-sasaran pembangunan.
Maka
dilakukanlah studi banding (comparative study) antara negara maju dan
negara berkembang. Untuk itu para ahli melakukan comparative studi yang
dipelopori Fred W. Riggs tahun 1957: Agraria and Industria yang disebut sebagai
CAG (Comparative Administration Group) dengan tujuan:
- Mencari model dan konsep administrasi negara dan kelembagaan yang cocok untuk negara berkembang;
- Mengembangkan administrasi negara untuk pembangunan di negara berkembang.
Hasil
studi banding antara negara maju dan negara berkembang tersebut mengungkap
adanya perbedaan-perbedaan antara keduanya dalam hal administrasi pemerintahan
atau kelembagaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
- Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang, pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme;
- Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya, hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik yang dikenal dengan istilah bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal;
- Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara berkembang;
- Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanisme formal market. Tidak demikian halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui mekanisme informal market;
- Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi.
Karakteristik
birokrasi negara berkembang menurut Fred W. Riggs adalah:
- Birokrasi terlibat jauh dalam pengambilan keputusan politik, jadi birokrasi tidak hanya terlibat dalam fungsi penerapan peraturan atau fungsi keluaran lainnya;
- Birokrasi menunjukan karakteristik prismatik, dimana menunjukan kecenderungan perilaku birokrasi yang umum dan dapat diperkirakan dengan terbuka;
- Birokrasi sangat berkaitan dengan apa yang disebut wewenang atau kekuasaan politik yang dominan pada rezim itu;
- Birokrasinya adalah multifungsionalis dari peranan birokrasinya. Mereka menunjukan kecenderungan nyata dari birokrat yang mempunyai kedudukan tinggi dengan sendirinya menjadi elit politik dalam masyarakat dan bahkan menjadikan dirinya menjadi akar bagi elit yang dominan.
Birokrasi
perlu mendapat perhatian dalam proses pembangunan, karena ia dapat menjadi
kekuatan yang baik, tetapi dapat juga menjadi penghambat bagi
perubahan-perubahan jika yang lebih menonjol adalah sikap ritualis. Di negara
maju, peranan pemerintah relatif kecil, karena lembaga-lembaga masyarakat telah
berkembang maju. Bahkan pemerintah yang kecil dan sedikit keterlibatannya lebih
dikehendaki. Sebaliknya, di negara berkembang, dengan segala kekurangannya,
pemerintah adalah lembaga yang paling maju. Oleh karena itu, tanggung jawab
pembangunan terutama berada di pundak pemerintah (administrasi negara). Lembaga
lain, seperti usaha swasta, pada umumnya belum berkembang.
Dengan
demikian, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan
pembangunan menjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak,
3.
Cirri-ciri
system pemerintahan Negara berkembang
sistem pemerintahan di negara-negara
berkembang pada awal kemerdekaanya, umumnya mempunyai ciri -ciri sebagai
berikut: Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial
yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan
bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya
terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak
memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan
sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan
yang bersifat umum atau rutin, dan tidak berorientasi kepada pembangunan.
Sifat
masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan
birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat
transisi, yakni antara masyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional
sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society
(masyarakat prismatik).
4.
Cirri-ciri
masyarakat prismatic
Menurut Fred W. Riggs, masyarakat
prismatik mempunyai tiga ciri utama.
- Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern;
- Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita;
- Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Seorang
ilmuwan administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs,
1994:66) menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan
koordinasi diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan
pendelegasian wewenang dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan
keterlambatan kerja, kelebihan muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter,
keengganan bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap
sewenang-wenang kepada masyarakat; legalisme dan formalisme; pelembagaan
korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya merupakan gejala memasyarakat dalam
negara yang sedang berkembang tanpa dapat membedakan dengan tegas berdasarkan
sistem politik atau tradisi kebudayaannya.
Menurut
Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada
baiknya dipelajari gambaran wajah (features) administrasi yang bersifat
umum (common) di negara berkembang.
4.
Cirri-ciri
administrasi Negara berkembang
Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi
yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern)
administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative)
daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang
pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi
Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang
menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan bahwa di negara
bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan
penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan
dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya
di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan
administrasi di Negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis,
otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta
paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di
negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri
birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang
kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk
menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi
kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang
mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru
kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management
capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills),
dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya
keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun,
tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau
orang-orang yang berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang
memiliki banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang
kita ketahui keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang
demikian, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali
disebabkan oleh pendidikan yang tidak oleh lembaga pendidikan yang tidak
berkualitas (marginal institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi
kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production
directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan
pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs (1985)
menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal
expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest).
Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan
berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara
berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak
mengenal etika. Dibanyak Negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian
rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai
sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores
dan semi institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar
antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency
between form and reality). Riggs (1985) menyebutkan fenomena umum ini
sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud
dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini
tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin
dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan,
memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian
kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang
tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang
memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap
kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan
masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah
secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan
berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang
paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di
birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam
pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak
efektif.
Para
ahli administrasi dan manajemen pembangunan khususnya untuk negara-negara dunia
ketiga diantaranya Fred W. Riggs (1985) berpendapat bahwa salah satu penyebab
keterbelakangan negara-negara sedang berkembang adalah kelemahan pada faktor
organisasi dan administrasi. Kenyataan menunjukkan bahwa memang di negara
sedang berkembang khususnya di Indonesia dengan ciri yang sangat pluralis dari
seluruh aspeknya bahkan disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
sudah barang tentu menghadapi persoalan manajemen pemerintahan dan pembangunan
yang sangat kompleks, apalagi potensi dan sumberdaya pembangunan yang tersebar
tidak merata diseluruh wilayah nusantara, sementara konsentrasi jumlah penduduk
yang terpusat di pulau jawa merupakan tantangan administrasi negara sepanjang
zaman dari rezim pemerintahan dahulu, sekarang dan masa yang akan datang.
Demokrasi
dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu
negara, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin
rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin
tinggi demokrasi. Gejala tumbuhnya birokrasi yang terlarnpau kuat diungkapkan
oleh Fred W. Riggs ketika ia rnelakukan penelitian modernisasi di Thailand yang
kemudian muncul dengan konsep "Bureaucratic Polity" yang
menggambarkan betapa birokrasi di negara berkembang telah memasuki suatu
jaringan kehidupan politik dan ekonomi yang sangat kuat yang dilakukan oleh
negara terhadap kehidupan masyarakat.
Studi
Fred W. Riggs tentang Bureaucratic Polity nampaknya menggarisbawahi
bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi sudah berada di bawah kontrol
politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi politik melalui
sarana birokrasi. Dalam studi Riggs birokrasi berkolaborasi dengan kekuasaan
pemerintah. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun
menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk juga ideologi.
Dalam
konsep bureaucratic polity, Fred W. Riggs (1985) mencoba menjelaskan
bahwa birokrasi menjadi arena utama permainan politik yang dipertarukan
dalam permainan itu seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan
kepentingan publik. Sehingga birokrasi "encapsulated" dan
tidak tanggap terhadap kepentingan di luar dirinya atau terjadi
imunitas birokrasi terhadap tuntutan masyarakat.
Birokrasi
menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam kaitannya dengan pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah. Administrasi pemerintahan maupun pelayanan publik
yang birokratis seolah telah menjadi karakteristik yang melekat di berbagai
negara berkembang. Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan
kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya
organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan
publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan
birokrasi yang belum menampakkan tanda-tanda dilakukannya perbaikan.
Salah
satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan
antara kewenangan, hak, serta tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada
akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah
untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, berbagai upaya yang
serius dan tegas diperlukan untuk memperbaiki birokrasi negara ini. Upaya
tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari problematika
KKN yang kian pelik dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini
lembaga, dan pada hampir semua aktivitas
http://httpmasyarakattransisi.blogspot.com/
http://erhynugroho.blogspot.com/2012/04/permasalahan-kelembagaan-di-negara.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar