Selasa, 23 Mei 2017

antropologi administrasi negara



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan keunikannya. Terdiri dari berbagai suku bangsa, yang mendiami belasan ribu pulau. Masing-masing suku bangsa memiliki keanekaragaman budaya tersendiri. Di setiap budaya tersebut terdapat nilai-nilai sosial dan seni yang tinggi. Pada kondisi saat ini kebudayaan mulai ditinggalkan, bahkan sebagian masyarakat Indonesia malu akan kebudayaannya sebagai jati diri sebuah bangsa. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman budaya Indonesia secara perlahan-lahan, yang tidak terlepas dari pengaruh budaya luar dan karakter mayarakat Indonesia yang suka meniru.
.Generasi muda termasuk mahasiswa di dalamnya, baik disadari atau tidak memegang amanah dalam menjaga kelestarian keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam menjaga kelestarian budaya Indonesia tersebut banyak cara yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan dan batasan-batasan yang ada. Jangan sampai di saat budaya kita diambil bangsa lain, baru kita menyadari betapa bagusnya nilai-nilai yang terkandung dalam budaya kita itu sendiri. Perkembangan zaman dan teknologi yang semakin lama semakin canggih serta perdagangan bebas yang telah terjadi di dunia khususnya Indonesia telah meracuni bangsa Indonesia terhadap moral akhlak dan tatakrama pergaulan anak remaja, adat budaya Indonesia yang dulu katanya Indonesia kaya akan budayanya kini terhapus semua oleh yang namanya kemajuan zaman, salah satu contohnya yang telah kita tahu kesenian Reog Ponorogo yang berasal dari Jawa Timur ponorogo telah di akui oleh bangsa Malaysia itu di sebabkan karena kekurangpedulian dan pelestariannyannya kita terhadap budaya kita
Perkembangan zaman era Globalisasi sekarang ini amatlah pesatnya sehingga membuat kita sering takjub dengan segala penemuan-penemuan baru disegala bidang. Penemuan-penemuan baru yang lebih banyak didominasi oleh negara-negara Barat tersebut dapat kita simak dan saksikan melalui layar televisi, koran, Internet dan sebagainya yang sering membuat kita geleng-geleng kepala sebagai orang Indonesia yang hanya bisa menikmati dan memakai penemuan orang-orang Barat tersebut. Penemuan-penemuan baru tersebut merupakan sisi positif yang dapat kita ambil dari negara-negara Barat itu sedangkan di negara-negara Barat itu sendiri makin maju dan modern diiringi pula dengan bebasnya mereka dalam bertindak dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membudaya.
Kebiasaan-kebiasaan orang Barat yang telah membudaya tersebut hampir dapat kita saksikan setiap hari melalui media elektronik dan cetak yang celakanya kebudayaan orang-orang Barat tersebut yang sifatnya negatif dan cenderung merusak serta melanggar norma-norma ke timuran kita sehingga ditonton dan ditiru oleh orang-orang kita terutama para remaja yang menginginkan kebebasan seperti orang-rang Barat. Kebudayan-kebudayaan Barat tersebut dapat kita mulai dari pakaian dan mode, musik, film sampai pada pergaulan dengan lawan jenis.
B.rumusan masalah
A. apa pengertian antropologi dan ilmu administrasi negara?
B. bagaimana fase-fase perkembangan antropologi?
C.antropologi masa kini?
D.apa hubungan antropologi dengan ilmu administrasi negara?
E.hubungan antropologi dengan ilmu-ilmu lain?







                                                                                                                                                                          









BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN ANTROPOLOGI DAN ADMINISTRASI NEGARA
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Anthropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Anthropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Anthropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan anthropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode anthropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitian pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal.
Adapun pengertian antropologi menurut para ahli yaitu:
  • William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
  • David Hunter: anthropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
  • Koentjaraningrat: Anthropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana anthropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat
PENGERTIAN ADMINISTRASI NEGARA
Administrasi negara adalah proses kerja sama antara dua orang atau lebih demi mencapai tujuan bersama.
B.Fase-fase perkembangan antropologi

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/31/Initiation_ritual_of_boys_in_Malawi.jpg/200px-Initiation_ritual_of_boys_in_Malawi.jpg
http://bits.wikimedia.org/skins-1.18/common/images/magnify-clip.png
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
C. Antropologi Masa Kini
Etnografi yang diartikan sebagai “pelukisan” (deskripsi) tentang bangsa-bangsa, digunakan secara umum di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan yang ada dalam tulisan-tulisan tentang masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa bukan Eropa maupun untuk metode-metode yang digunakan untuk mengumpulkan dan mengumumkan bahan tersebut.
Etnhologi, yang berarti ilmu bangsa-bangsa juga telah dipkai sejak awal. Yang mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan sejarah perkembangan kebudayaan manusia.
Voelkerkunde, dalam bahasa Jerman, atau volkenkundedalam bahasa Belanda, adalah istilah untuk “ilmu bangsa-bangsa”, dan terutama dipergunakan di Eropa Tengah sampai sekarang.
Kultukunde, berarti “ilmu kebudayaan”, istilah ini pernah dipakai sarjana antropologi Jerman L. Frobenius, dalam arti yang sama seperti Ethnology di Amerika.
Anthropology atau “Ilmu tentang manusia”, adalah suatu istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia.
Cultural anthropology akhir-akhir ini terutama digunakan di Amerika tetapi kemudian digunakan juga di negara-negara lain untuk bagian antropologi yang tidak mempelajari physical antropologi, yaitu yang secara khusus mempelajari tubuh manusia.

D.HUBUNGAN ANTROOPOLOGI MASA KINI DENGAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
di dalam ilmu administrasi negara, dikenal suatu konsep yaitu sistem administrasi negara.
Setiap negara pasti memiliki sistem administrasi negara masing - masing.
sistem ini tidaklah berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, termasuk dari ilmu antropologi.
dengan kata lain, antropologi mempengaruhi sistem administrasi negara di sebuah negara.

ilmu antropologi itu sendiri mempelajari budaya yang ada di dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, budaya di dalam masyarakat tsb akan mempengaruhi sistem administrasi negara.
misalnya saja di masyarakat negara maju, di mana lebih mengutamakan budaya profesionalisme. Budaya profesional ini akan turut mempengaruhi sistem administrasi negara sehingga para aparat di dalamnya menganut budaya profesional.
di sisi lain, di masyarkat negara berkembang yang cenderung lebih mengutamakan budaya kekeluargaan, budaya kekeluargaan juga akan mempengaruhi sistem administrasi negara. Contoh nya saja, mobil dinas malah digunakan untuk jalan - jalan keluarga.
E.Hubungan antara Antropologi dan Ilmu-Ilmu Lain
Hubungan antara Geologi dan Antropologi. Ilmu geologi mempelajari ciri- ciri dari lapisan bumi beserta perubahan –perubahannya, dan juga artefak-artefak maupun bekas-bekas kebudayaan hasil galian para ahli arkeologi, untuk menganalisa umur dari lapisan bumi tempat benda-benda itu tersimpan.
Hubungan antara Paleoantropologi dan Antropologi. Paleoantropologi sebagai ilmu yang meneliti fosil makhluk-makhluk purba guna merekontruksi proses evolusi yang terjadi pada manusia.
Hubungan Antara Ilmu Anatomi Dan Antropologi. Memerlukan bantuan ilmu anatomi karena ciri-ciri dari berbagai bagian kerangka manusia, bagian tengkorak, serta ciri-ciri dari bagian tubuh manusia.
Hubungan antara ilmu kesehatan Masyarakat dan antropologi, yaitu data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang kesehatan, sakit, dukun, obat –obatan tradisional, kebiasaan serta pantangan makan, dan lain-lain.
Hubungan antara ilmu pskisatri dan antropologi. Hubungan antara psikiatri dan antropologi merupakan suatu pengluasan dari hubungan antara antro-pologi dan psikologi, yang kemudian mendapat fungsi yang praktis.
Hubungan antara ilmu linguistik dan antropologi. Ilmu lingiustik (atau ilmu bahas) terjadi pada akhir abad ke-18. Ilmu linguistik berkembang menjadi ilmu yang berusaha mengembangkan konsep-konsep.
Hubungan antara Arkeologi dan Antropologi. Arkeologi, atau ilmu sejarah kebudayaan manusia, pada awalnya meneliti sejarah dari kebudayaan-kebudayaan kuno di zaman purba, seperti misalnya kebudayaan Yunani dan rum Klasik, kebudayaan Mesir Kuno, Kebudayaan Mesopotamia, Kebudayaan kuno Palestina, dan lain-lain. Di indonesia arkeologi antara lain meneliti sejarah negara-negara Indonesia-Hindu antara abad ke 4 dan abad ke 16 masehi.
Hubungan antara ilmu sejarah dan antropologi. Hubungan ini sebenarnya mirip dengan hubungan antara arkeologi dan antropologi dengan hubungan antara arkeologi dan antropologi terurai diatas. Untuk menulis sejarah suatu bangsa, antropologi pada awalnya menyediakan bahan prasejarahnya. Demikian juga berbagai masalah dalam historiografi dari sejarah suatu bangsa dapat dipecahkan dengan metode-metode antropologi. Berbagai sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, naskah tradisional, dan arsip kuno, seringkali hanya dapat mengungkapkan peristiwa-persitiwa sejarah yang terbatas pada bidang politik saja. Sebaliknya, seluruh latar belakang sosial dari peristiwa-peristiwa politik konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan antropologi dan ilmu –ilmu sosial dapat memberi pengertian kepada para ahli sejarah untuk mengisi latar belakang suatu peristiwa politik dimasa lampau. Untuk memecahkan masalah-masalah yang diakibatka oleh pengaruh kebudayaan asing.
Hubungan antara Geografi dan antropologi. Geografi, atau ilmu bumi, mencoba mencapai pengertian tentang alam dunia ini dengan gambaran-gambaran tentang bumi dan ciri-ciri dari segala bentuk hidup yang ada dibumi, seperti flora dan fauna.
Hubungan antara ilmu ekonomi dan antropologi. Dalam banyak negara penduduk pedesaanya lebih besar jumlahnya daripada penduduk kotanya, kekuatan, proses, dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku dalam kegiatan kehidupan ekonominya sangat dipengaruhi system kemasyarakatan, cara berpikir, pandangan, serta sikap hidup warga masyarakat pedesaan.
Hubungan antara ilmu hukum adat Indonesia dan antropologi. Timbulnya ilmu hukum adat Indonesia pada permulaan abad ke-20, para ahli telah menyadari pentingnya antropologi sebagai ilmu Bantu dalam melakukan penelitian-penelitiannya.
Hubungan antara ilmu administrasi dan antropologi. Ilmu administrasi tentu akan menghadapi masalah-masalah yang sama seperti ilmu ekonomi.
Hubungan antara ilmu politik dan antropologi. Ilmu politik telah melebarkan perhatiannya ke masalah-masalah yang menyangkut latar belakang sosial budaya dari kekuatan-kekuatan politik. 
Ilmu gabungan mengenai tingkah laku manusia. Tingkah laku dan tindakan manusia tidak hanya diteliti antropologi melainkan juga oleh berbagai ilmu sosial seperti sosiologi dan psikologi.






BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Administrasi negara adalah proses kerja sama antara dua orang atau lebih  untuk mencapai tujuan bersaama.
Antropologi berkembang melalui beberapa fase yakni
1. Fase pertama terjadi pada sebelum tahun 1800-an
2. Fase kedua terjadi pada tahun 1800-an
3. Fase ketiga terjadi pada awal abad ke 20
4.Fase keempat terjadi pada tahun 1930an
Antropologi mempunyai hubungan dengan ilmu administrasi negar yaitu:
di dalam ilmu administrasi negara, dikenal suatu konsep yaitu sistem administrasi negara.
Setiap negara pasti memiliki sistem administrasi negara masing - masing.
sistem ini tidaklah berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, termasuk dari ilmu antropologi.
dengan kata lain, antropologi mempengaruhi sistem administrasi negara di sebuah negara.

ilmu antropologi itu sendiri mempelajari budaya yang ada di dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, budaya di dalam masyarakat tsb akan mempengaruhi sistem administrasi negara.
misalnya saja di masyarakat negara maju, di mana lebih mengutamakan budaya profesionalisme. Budaya profesional ini akan turut mempengaruhi sistem administrasi negara sehingga para aparat di dalamnya menganut budaya profesional.

B.saran
Apa yang baru anda dapatkan dari makalah ini bukanlah suatu hal yang bisa memberi banyak manfaat selama anda hanya berpedoman pada satu literatur saja. Jadi, untuk mengembangkan potensi anda dalam mengetahui dan memahami suatu disiplin ilmu maka fungsikanlah otak anda dan berpikirlah untuk menemukan apa yang ingin anda ketahui. Dan jangan pernah merasa puas dengan apa yang anda dapatkan dan telah anda dapatkan.
Saya juga sebagai penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah ini mempunyai kekurangan-kekurangan, olehnya itu saya  mengharapkan masukan  yang sifatnya membangun dari para pembaca, agar saya bisa memperbaiki makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
id.answers.yahoo.com › ...4naldo.wordpress.com
lowongankerjabaru.net
/.www.scribd.com/ d.wikipedia.org


perbandingan administrasi negara



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Keinginan untuk mengetahui dan membandingkan masyarakat transis Negara berkembang dan Negara maju merupakan latar belakang di buatnya makalah ini.
Selain itu, makalah ini dibuat dengan tujuan agar dapat digunakan sebagaimana mestinya pada saat diskusi di kelas, dalam hal ini bahwa makalah ini dibuat sebagai pegangan dan acuan serta batasan-batasan pertanyaan dan bahan diskusi yang akan di bahas.
  1. PENGERTIAN MASYARAKAT TRANSISI
Masyarakat transisi (prismatic society) ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
2.      POLA HUBUNGAN MASYARAKAT TRANSISI DENGAN MASYARAKAT YANG LAINYA

Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
Hubungan kelompok masyarakat transisi terhadap kelompok masyarakat lain memiliki pola yang tidak pasti. Banyak masyarakat transisi yang masih mengedepankan kehidupan social yang lama , ( yakni sesuai dengan hubungan kelompok masyarakat desa ), namun banyak juga masyarakat transisi yang sudah mulai meninggalkan pola hubungan masyarakat desa dan berpindah pada pola hubungan masyarakat perkotaan.
 Pola hubungan masyarakat desa ditentukan oleh  nilai, adat , kebiasaan , serta  budaya tertentu, seperti nilai gotong royong , nilai saling mengenal, budaya berinteraksi , kebiasaan menunggu, kebiasaan saling bergantung , adat ritual, dan sebagainya. Sedangkan masyarakat kota hubungan sosialnya lebih di tentukan oleh kepentingan profesi dan sebagaian besar tidak terikat oleh nilai dan budaya tertentu  sehingga masyarakat kota memiliki sikap individual yang tinggi, kurang mengenal satu sama lain,di penuhi rasa kecurigaan , suka menerobos, mudah tersinggung, dan sebagainya.
            Masyarakat transisi umumnya memiliki hubungan social yang mengadopsi dari kota dan desa yakni suka menerobos,mudah tersinggung, kurang memperhatikan adat dalam bergaul, sikap individual mulai menonjol, dalam mencapai tujuan bersama kurang menjunjung etika gotong royong, rasa saling membutuhkan satu sama lain mulai memudar dan mereka mulai kehilangan nilai dan norma yang asli.
Contoh dari masyarakat transisi yaitu masyarakat yang tinggal di suatu desa yang mengalami kemajuan serta perubahan sehingga desa tersebut mangalami proses perubahan dari desa menjadi kota.


Berdasarkan konsepsi tipe masyarakat menurut Fred W. Riggs, Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai negara dengan tipe masyarakat prismatik (prismatic society) yang diwarnai dengan pluralitas etnik, linguistik, religik, dan aliran.

Tabel 2.1 Pembagian Masyarakat Menurut Riggs (1985)
Masyarakat Tradisional
Masyarakat Modern
Masyarakat Transisi
-       Masyarakat  agraria/diffused
-       Nilai askripsi: mementingkan faktor keturunan dan partikularis-me (suku,  agama,adat istiadat, dsb)
-       Spesialisasi belum berkembang
-       Feodal-absolut
-          Masyarakat industri/diffracted
-          Nilai prestasi/ achievement dan universalisme
-          Spesialisasi tinggi
-          Sistem politik demokratis
-          Birokrasi rasional/Weber
-          Masyarakat prismatik
-          Transisi dari tradisional ke modern
-          Secara formal modern tapi nilai tradisi tetap masih dominan
-          Formalism

Dalam bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan, supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan pesan itu apa adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta tekstual.
Adapun masyarakat modern (memencar) merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat model ini bisa ditandai lewat organisasi. Masyarakat modern lebih menampakkan sifat heterogen dan rasional. Adapun posisi masyarakat prismatik ada di ruang tengah antara masyarakat tradisional (memusat) dan masyarakat modern (memencar). Pluralitas budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar.
Rumusan ini diadopsi Riggs dari teori optik yang mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain prisma tersebut sebagai pemantul cahaya, juga memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Masyarakat jenis prismatik biasanya tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis.  Dalam kultur masyarakat prismatik, tampak adanya koeksistensi antara pandangan rasional dan pandangan yang tidak rasional. Koeksistensi kedua kelompok ini lantas menampakkan suatu kebudayaan tertentu yang mengarah kepada tindakan manusia.  Kondisi macam inilah yang membentuk polynormativisme sebagai ciri khas masyarakat model prismatik.
Riggs melandaskan teorinya itu atas dasar tingkatan fungsionalisasi yang telah berkembang di dalam suatu masyarakat. Di dalam fused society, fungsi-fungsi tersebut masih terpusat dan sistem organisasinya belum berkembang, sedangkan di dalam diffracted society fungsi-fungsi tersebut telah terpencar dan organisasinya telah berkembang. Model prisma menunjukkan masa transisi dan berada di antaranya, dan merupakan model dari birokrasi di banyak negara berkembang.
Dengan demikian, latar belakang perbedaan antara keduanya terletak pada dua aspek: (1) tingkat perkembangan sosial ekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan; dan (2) lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangan sistem nilai serta penerapan sasaran-sasaran pembangunan.
Maka dilakukanlah studi banding (comparative study) antara negara maju dan negara berkembang. Untuk itu para ahli melakukan comparative studi yang dipelopori Fred W. Riggs tahun 1957: Agraria and Industria yang disebut sebagai CAG (Comparative Administration Group) dengan tujuan:
  1. Mencari model dan konsep administrasi negara dan kelembagaan yang cocok untuk negara berkembang;
  2. Mengembangkan administrasi negara untuk pembangunan di negara berkembang.
Hasil studi banding antara negara maju dan negara berkembang tersebut mengungkap adanya perbedaan-perbedaan antara keduanya dalam hal administrasi pemerintahan atau kelembagaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang, pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme;
  2. Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya, hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik yang dikenal dengan istilah bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal;
  3. Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara berkembang;
  4. Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanisme formal market. Tidak demikian halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui mekanisme informal market;
  5. Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi.
Karakteristik birokrasi negara berkembang menurut Fred W. Riggs adalah:
  1. Birokrasi terlibat jauh dalam pengambilan keputusan politik, jadi birokrasi tidak hanya terlibat dalam fungsi penerapan peraturan atau fungsi keluaran lainnya;
  2. Birokrasi menunjukan karakteristik prismatik, dimana menunjukan kecenderungan perilaku birokrasi yang umum dan dapat diperkirakan dengan terbuka;
  3. Birokrasi sangat berkaitan dengan apa yang disebut wewenang atau kekuasaan politik yang dominan pada rezim itu;
  4. Birokrasinya adalah multifungsionalis dari peranan birokrasinya. Mereka menunjukan kecenderungan nyata dari birokrat yang mempunyai kedudukan tinggi dengan sendirinya menjadi elit politik dalam masyarakat dan bahkan menjadikan dirinya menjadi akar bagi elit yang dominan.
Birokrasi perlu mendapat perhatian dalam proses pembangunan, karena ia dapat menjadi kekuatan yang baik, tetapi dapat juga menjadi penghambat bagi perubahan-perubahan jika yang lebih menonjol adalah sikap ritualis. Di negara maju, peranan pemerintah relatif kecil, karena lembaga-lembaga masyarakat telah berkembang maju. Bahkan pemerintah yang kecil dan sedikit keterlibatannya lebih dikehendaki. Sebaliknya, di negara berkembang, dengan segala kekurangannya, pemerintah adalah lembaga yang paling maju. Oleh karena itu, tanggung jawab pembangunan terutama berada di pundak pemerintah (administrasi negara). Lembaga lain, seperti usaha swasta, pada umumnya belum berkembang.
Dengan demikian, adanya sistem administrasi negara yang mampu menyelenggarakan pembangunan menjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Di lain pihak,
3.      Cirri-ciri system pemerintahan Negara berkembang
sistem pemerintahan di negara-negara berkembang pada awal kemerdekaanya, umumnya mempunyai ciri -ciri sebagai berikut: Pertama, kelembagaannya mewarisi sistem administrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya, karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukan bangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumber daya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyak diisi oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistem pemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, dan tidak berorientasi kepada pembangunan.
Sifat masyarakat negara-negara sedang berkembang merupakan pangkal ketidaknetralan birokrasi. Pada umumnya masyarakat di negara-negara tersebut adalah masyarakat transisi, yakni antara masyarakat yang mempunyai karakteristik tradisional sekaligus modern. Masyarakat demikian biasa dikenal dengan prismatic society (masyarakat prismatik).
4.      Cirri-ciri masyarakat prismatic
Menurut Fred W. Riggs, masyarakat prismatik mempunyai tiga ciri utama.
  1. Heteroginitas yakni perbedaan dan percampuran yang nyata antara sifat-sifat tradisional dan modern;
  2. Formalisme menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam kadar yang cukup tinggi antara berbagai hal yang telah ditetapkan secara formal dengan praktek atau tindakan nyata di lapangan. Ketidaksesuaian antara norma-norma formal dengan realita;
  3. Overlapping merupakan gambaran kelaziman adanya tindakan antara berbagai struktur formal yang dideferensiasikan dan dispesialisasikan dengan berbagai struktur informal yang belum dideferensiasikan dan dispesialisasikan.
Seorang ilmuwan administrasi pembangunan sekaliber Milton J Erman (dalam Riggs, 1994:66) menemukan sejumlah penyakit lama seperti adanya kesulitan mewujudkan koordinasi diantara aktivitis pokok yang saling berkaitan; keengganan pendelegasian wewenang dari struktur yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan keterlambatan kerja, kelebihan muatan, kekakuan dan gaya kepemimpinan otoriter, keengganan bawahan mengambil inisiatif kecuali sebatas tanggung jawabnya; sikap sewenang-wenang kepada masyarakat; legalisme dan formalisme; pelembagaan korupsi; berlebihan pembantu, kesemuanya merupakan gejala memasyarakat dalam negara yang sedang berkembang tanpa dapat membedakan dengan tegas berdasarkan sistem politik atau tradisi kebudayaannya.
Menurut Heady (1995) untuk kepentingan kajian mengenai pembangunan administrasi ada baiknya dipelajari gambaran wajah (features) administrasi yang bersifat umum (common) di negara berkembang.
4.      Cirri-ciri administrasi Negara berkembang
 Heady menunjukkan ada lima ciri administrasi yang indikasinya diketemukan secara umum di banyak negara berkembang.
Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang menjajahnya. Kingsley seperti dikutip oleh Heady menyatakan bahwa di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial. Adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di Negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah. Heady menunjukkan kasus India dan Mesir, yang memiliki banyak tenaga berpendidikan tinggi, tetapi menganggur. Dari data yang kita ketahui keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini. Kondisi yang demikian, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Riggs (1985) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak Negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar, atau menurut istilah Heady sanctioned by social mores dan semi institutionalized.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1985) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif.
Para ahli administrasi dan manajemen pembangunan khususnya untuk negara-negara dunia ketiga diantaranya Fred W. Riggs (1985) berpendapat bahwa salah satu penyebab keterbelakangan negara-negara sedang berkembang adalah kelemahan pada faktor organisasi dan administrasi. Kenyataan menunjukkan bahwa memang di negara sedang berkembang khususnya di Indonesia dengan ciri yang sangat pluralis dari seluruh aspeknya bahkan disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah barang tentu menghadapi persoalan manajemen pemerintahan dan pembangunan yang sangat kompleks, apalagi potensi dan sumberdaya pembangunan yang tersebar tidak merata diseluruh wilayah nusantara, sementara konsentrasi jumlah penduduk yang terpusat di pulau jawa merupakan tantangan administrasi negara sepanjang zaman dari rezim pemerintahan dahulu, sekarang dan masa yang akan datang.
Demokrasi dan birokrasi sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu negara, akan tetapi semakin kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin rendah demokrasi dan sebaliknya semakin lemah birokrasi maka akan semakin tinggi demokrasi. Gejala tumbuhnya birokrasi yang terlarnpau kuat diungkapkan oleh Fred W. Riggs ketika ia rnelakukan penelitian modernisasi di Thailand yang kemudian muncul dengan konsep "Bureaucratic Polity" yang menggambarkan betapa birokrasi di negara berkembang telah memasuki suatu jaringan kehidupan politik dan ekonomi yang sangat kuat yang dilakukan oleh negara terhadap kehidupan masyarakat.
Studi Fred W. Riggs tentang Bureaucratic Polity nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu posisi birokrasi sudah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan sumber legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Dalam studi Riggs birokrasi berkolaborasi dengan kekuasaan pemerintah. Keterlibatan negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan ekonomi sosial budaya termasuk juga ideologi.
Dalam konsep bureaucratic polity, Fred W. Riggs (1985) mencoba menjelaskan bahwa birokrasi menjadi arena utama permainan politik yang dipertarukan dalam permainan itu seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik. Sehingga birokrasi "encapsulated" dan tidak tanggap terhadap kepentingan di luar dirinya atau terjadi imunitas birokrasi terhadap tuntutan masyarakat.
Birokrasi menjadi suatu permasalahan tersendiri dalam kaitannya dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Administrasi pemerintahan maupun pelayanan publik yang birokratis seolah telah menjadi karakteristik yang melekat di berbagai negara berkembang. Hal ini tercermin dari masih tingginya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), tidak efisiennya organisasi pemerintahan di pusat dan daerah, rendahnya kualitas pelayanan publik, dan lemahnya fungsi lembaga pengawasan sehingga banyak kelemahan birokrasi yang belum menampakkan tanda-tanda dilakukannya perbaikan.
Salah satu penyebab ketidakprofesionalan tersebut adalah adanya ketidakseimbangan antara kewenangan, hak, serta tanggung jawab. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya mengakibatkan kecenderungan yang tinggi di kalangan pegawai pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan dan bersikap apatis atau tidak termotivasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Oleh karena itu, berbagai upaya yang serius dan tegas diperlukan untuk memperbaiki birokrasi negara ini. Upaya tersebut sangat perlu dilakukan agar birokrasi mampu keluar dari problematika KKN yang kian pelik dalam semua tingkatan pemerintahan, pada hampir semua lini lembaga, dan pada hampir semua aktivitas
http://httpmasyarakattransisi.blogspot.com/
http://erhynugroho.blogspot.com/2012/04/permasalahan-kelembagaan-di-negara.html