BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan
konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat
kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas-tugas, hak keadilan, rationalsm, dan
profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan-keuntungan birokrasi
pemerintah adalah: efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari
politik dan pribadi di dalam keputusan-keputusan organisatoris serta wujud
terbaik organisasi karena membiarkan memilih pejabat-pejabat untuk
mengidentifikasi dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa
yang dilakukan
karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat
tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan
represif. Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power
corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang
absolut berkorupsi secara absolut pula). Namun pendapat Acton bahwa absolutism
dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena
lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi
‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Namun, Birokrasi Weberian yang
diharapkan akan menghasilkan hal-hal yang telah tersebut di atas, ternyata
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di
kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat
patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under
producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi
kepada kepentingan umum.
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala patologi dalam birokrasi
menurut Sondang P. Siagian bersumber pada lima masalah pokok yaitu:
a) Persepsi gaya manajerial
para pejabat dilingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip prinsip
demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti penyalahgunaan
wewenang dan jabatan menerima sogok dan nepotisme
b) Rendahnya pengetahuan
dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional
mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai
sering berbuat kesalahan
c) Tindakan pejabat yang
melanggar hukum dengan penggemukan pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan
sebagainya.
d) Manifestasi perilaku
birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif seperti sewenang wenang,
pura pura sibuk dan diskriminaitf
e) Akibat situasi internal
berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi
seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan
indikator kerja dan sistem pilih kasih.
B.
LATAR BELAKANG
1. Apa yang di Maksud
Patologi Birokrasi?
2. Apa yang Dimaksud
Birokrasi?
3. Seperti Apa Patologi
Birokrasi Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
PATOLOGI BIROKRASI
Patologi
merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang
penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy
is an organisation with a certain position and role in running the government
administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian
dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan
posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof.
Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah
agar dapat diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh
manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar
seluruh birokrasi pemerintahan Negara mampu mengahadapi berbagai tantangan yang
mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosiokultur dan teknologikal.
Risman
K. Umar (2002) mendefenisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau
bentuk perilaku organisasi yang menyimpang dari nilai nilai etis, aturan aturan
dan ketentuan ketentuan perundang undangan serta norma norma yang berlaku dalam
birokrasi.
Lebih
lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang
dapat dijumpai antara lain:
1. Penyalahgunaan
wewenang dan tanggung jawab
2. Pengaburan
masalah
3. Indikasi
korupsi, kolusi dan nepotisme
4. Indikasi
mempertahankan status quo
5. Empire
building (membina kerajaan)
6. Ketakutan
pada perubahan, inovasi dan resiko
7. Ketidak
pedulian pada kritik dan saran
8. Takut
mengambil keputusan
9. Kurangnya
kreativitas dan eksperimentasi
10. Kredibilitas yang
rendah, kurang visi yang imajinatif
11. Minimmya pengetahuan
dan keterampilan.
B.
PENGERTIAN BIROKRASI
Birokrasi
berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti
pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu
sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor
melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa
Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga
sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Definisi
birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus
akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan,
pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi
1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai
departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka
sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823
mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi
pemerintahan.
Birokrasi
berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem
kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional
dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan
aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas
administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser &
Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara
itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan
Cara bekerja atau
susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya)
yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini
mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai Sistem
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh
rakyat, dan Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
C.
PATOLOGI BIROKRASI DI
INDONESIA
Setelah memahami
birokrasi bisa dianalisis fenomena penyakit yang menjangkiti birokrasi di
Indonesia. Di dalam dunia medis dikenal dengan istilah patologi yang memiliki
pengertian penyakit. Dari pengertian diatas mungkin ada ketidaksinkronan dalam
pemaduan dua kata namun itu hanyalah sekedar istilah untuk menggambarkan bahwa
dalam birokrasi di Indonesia masih belum tertata dengan baik. Bahayanya
manakala penyakit tersebut tidak segera di ”periksa”ke ahlinya maka akan
menggejala dalam sebuah sistem yang tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam
birokrasi ada sebuah sistem yang sulit ditembus karena permasalahan kultur.
Melihatbirokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan budaya politik yang
ada di Indonesia. Budaya inilah yang sangat sulit dirubah karena berkaitan
dengan moral Sumber Daya Manusia. Ini menjadi gejala awal ”penyakit” karena
meskipun perekrutan dilaksanakan secara terbuka namun masih ada fenomena
kecenderungan ke arah patronase. Sebuah pola yang memanfaatkan ”simbiosis
mutualisme” (hubungan yang bersifat menguntungkan).Maka dari itu perlu penataan
kembali birokrasi di Indonesia agar terwujud pelayanan prima.
Simbiois mutualisme
yang terjadi dengan mempertukarkan atau bisa jadi sebuah hubungan atau relasi
kekeluargaan yang mengesampingkan kualitas sehingga pada saat mereka melakukan
pelayanan publik kurang optimal karena keterbatasan kemampuanakibat perekrutan
yang dilakukan sebuah formalitas belaka. Mental yang dimilikipun sudah ada
”bawaan” mental korup karena pada saat memasuki sistemada sumber daya yang
mereka pertukarkan dengan si patron (orang yang memiliki kekuasaan). Pada
akhirnya mental sebagai abdi negara tidak muncul yang ada hanyalah mental yang
taat pada ”si patron” sehingga kepentingan publik menjadi terbengkalai.
Hubungan ini bisa diibaratkan seperti lingkaran setan.
Untuk memangkas rantai
ini bukan hal yang mudah karena perekrutan yang dilaksanakan secara terbuka
bahkan tanpa mempertukarkan sumber dayapun dapat terjangkiti penyakit karena
”orang sehat” masuk ke tempat yang kotor atau tempat yang banyak menghasilkan
bibit penyakit dan menularkan penyakit sangat mampu membuat orang yang sehat
menjadi sakit dan menyebarkan virus ke yang lainnya. Untuk itulah diperlukan
sebuah kekebalan atau imunitas agar virus itu tidak menggerogoti yang lain.
Bagi yang sudah terkena penyakit hendaklah disembuhkan terlebih dahulu. Mencari
format baru untuk menata birokrasi Indonesia bisa dilakukan dengan pembangunan
mental (mental building) yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Propf.Dr.Sondang
P.Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi: Analisis,Identifikasi dan
Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi
yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam
lima macam :
1.
Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para
pejabat dilingkungan birokrasi
2.
Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan
ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional
3.
Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota
birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku
4.
Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi
yang bersifat disfungsional atau negatif
5.
Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai
instansi di lingkungan pemerintah.
Berikut
alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam
membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan
transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat
birokrasi pemerintah sebagai berikut :
1.
Dalam hubungan dengan berpola patron- klien tidak memiliki
standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif.Perlu membuat peraturan
Undang – Undang- Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat
2.
Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit –
belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik
3.
Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas
diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai
bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan
publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
4.
Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang
jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan
pengguna pelayanan publik
5.
Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa
berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus
diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari
penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan
penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
6.
Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas
pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan
pengalaman,skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude)
merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau
penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik di Indonesia. Untuk
itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber
daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai
landasan dalam pelayanan publik.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah
satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi sebagai sebuah
usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau
aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap
ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau
aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha yang seperti
telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good
Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma,
perilaku dan orientasi pelayanan kepada publik.
B.
SARAN
Terimah
kasih telah membaca tugas ini, namun saya menghimbau agar lebih banyak lagi
untuk membaca referensi-referensi lain karena masih banyak
pembahasan-pembahasan mengenai apa yang di bahas di dalam tugas ini di
referensi-referensi lainnya, seperti halnya buku ataupun media elektronik dan
media cetak lainnya.
Kami sebagai penyusun
tugas ini menyadari bahwa begitu banyak keurangan-kekurangan yang terdapat di
dalam tugas ini, oleh karena itu kami mengharapkan keritikan ataupun saran yang
sifatnya membangun dan dapat mengembangkan,memperbaiki, dan memajukan tugas ini
kedepannya. Keritik dan saran para pembaca akan kami jadikan pelajaran untuk memperbaiki
tugas kami kedepannya (selanjutnya) agar bias lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Badu.2008.Kondisi Birokrasi Di Indonesia Dalam Hubungannya
Dengan Pelayanan Publik.Jurnal Administrasi Publik. Volume IV.PKP2A LAN Makasar
Supriyadi,Gering. 2009. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah. Lembaga
Administrasi Negara
Susanto dkk,2010.Reinvensi Pembangunan Ekonomi Daerah. PT Gelora Aksara
Pratama Erlangga. JakartA
Wahyu,Mardyanto.2011.Kerangka pencegahan Konflik di Indonesia.BAPPENAS-PTD-LIPI-UNDP,Jakart
Witianti,Siti.2007.Budaya Politik dan Pembangunan.Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Padjajara
Yansyah,Ali.2009.Perpektif Sumber Daya Manusia dalam Pengembangan Badan
Usaha Milik Daerah.Jurnal Volume IV No.2.LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar