Minggu, 07 Desember 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas seperti terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam kenyataannya etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi pelayanan publik itu sendiri.
Dalam literatur administrasi publik dan ilmu politik, selalu diingatkan sisi etika dari administrasi publik (Henry, 1995:400-401). Memang dari hari ke hari selalu muncul pelanggaran etika atau misconduct di dalam instansi pemerintah, termasuk pemerintah Indonesia. Di Amerika Serikat sekalipun banyak pejabat publik yang terlibat dalam perilaku yang tidak terpuji. Dennis F. Thompson (2005), Professor dari Harvard University, menyatakan bahwa skandal etika ini memang semakin meluas, tidak saja disebabkan oleh semakin banyak aturan yang membatasi moral pejabat tetapi juga oleh semakin banyak tuntutan publik agar pejabat publik harus mengikuti nilai-nilai dasar yang mereka tuntut.
Herbert A. Simon dalam karyanya Adminsitrative Behavior yang ditulisnya pada tahun 1947 mengingatkan bahwa para administrator ternyata dalam membuat keputusan cenderung didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan di luar rasionalitas atau di luar pertimbangan ekonomi dan efisiensi. Para administrator nampaknya sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan psikologis sehingga berdampak pada keputusan yang mereka buat. Apa yang disampaikan oleh Simon ini ternyata senada dengan yang diungkapkan beberapa tahun sebelumnya oleh Harold Lasswell dalam Psychopathology and Politics di tahun 1930, dan oleh Chester I. Barnard dalam The Function of the Executive pada tahun 1938. Kemudian beberapa karya penting seperti Morality and Administration in Democratic Government oleh Paul H. Appleby tahun 1952 dan The Polity oleh Norton Long tahun 1962, The Politics of Bureaucracy tahun 1965 oleh Gordon Tullock, dsb., telah meyakinkan kita bahwa masalah moral dan etika menjadi isu yang sangat strategis di dalam dinamika administrasi publik.
Dewasa ini, etika terus mendapat sorotan dalam beberapa literatur administrasi publik (Cooper, 1998; Donahue, 2003; Berman, 2003). Etika dapat menjadi suatu faktor yang mensukseskan tetapi juga sebaliknya menjadi pemicu dalam menggagalkan tujuan kebijakan, struktur organisasi, serta manajemen publik. Bila moralitas para penyusun kebijakan publik rendah, maka kualitas kebijakan yang dihasilkanpun sangat rendah. Begitu juga bila struktur organisasi publik yang disusun berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu yang berbeda dengan kepentingan publik, maka struktur organisasi tersebut tidak akan efektif. Di dalam proses manajemen misalnya, kebobrokan moralitas atau etika dari mereka yang merencanakan, mengimplementasikan, dan memonitor serta mengevaluasi pelayanan publik akan sangat berpengaruh pada hasil akhir. Dengan kata lain, tingkat moralitas atau etika para pemberi pelayanan publik akan mempengaruhi pencapaian hasil.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Pengertian etika,transparansi,pelayanan dan transparansi pelayanan
b. Arti pentingnya/tujuan etika dalam transparansi pelayanan
c. Kenyataan pelaksanaan etika dalam transparansi pelayanan
d. Solusi/langkah-langkah mengatasi perbedaan antara teori dan kenyataan pelaksanaan etika dalam transparansi pelayanan
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ETIKA,TRANSPARANSI,PELAYANAN DAN TRANSPARANSI PELAYANAN
Etika (kihajar dewantara) adalah ilmu yang mempelajari segala sosial
kebaikan dan keburukan didalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenal gerak gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan , sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perubahan.
Transparansi adalah adanya keterbukaan dalam suatu lembaga pemerintahan baik dari sisi pelayanannya,keuangan, peraturan perundang-undangan,etika,norma-norma yang berlaku dalam lembaga pemerintahan tersebut serta keterbukaan mengenai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Pelayanan adalah suatu pemberian barang dan jasa oleh pemerintah terhadap masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam arti yang sempit, pelayanan adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu sistem pelayanan yang sehat. Pelayanan ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya.
Transparansi pelayanan adalah suatu tindaka pemberian barang atau jasa kepada masyarakat secara transparansi (keterbukaan) oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar.
B. ARTI PENTINGNYA/TUJUAN ETIKA DALAM TRANSPARANSI PELAYANAN
Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Jika kita kembali melihat perkembangan paradigma administrasi publik, dimana terjadi dikotomi (pemisahan) administrasi dari politik (1900-1926) menunjukkan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat itu mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap ”permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995 : 400).
Terdapat beberapa alasan substantif mengapa etika dan transparansi pelayanan harus diberikan ?
Pertama, adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki ”tanggung jawab” atau responsibility. Artinya dalam memberikan pelayanan, pemerintah diharapkan secara rofesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dan sebagainya. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai.
Kedua, alasan yang lebih berkenaan dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Menurut Denhardt, pelayanan publik harus lebih konsentrasi pada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational humanism), maksudnya dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Ketiga , berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip ”kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya: merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dan sebagainya, untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice-as-fairness sesuai pendapat John Rawis yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan ”putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini.
Keempat, Alasan penting yang terakhir adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada ”keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntutan perilaku yang ada.
C. KENYATAAN PELAKSANAAN ETIKA DALAM TRANSPARANSI PELAYANAN
kenyataannya diindonesi masih begitu banyak pelanggaran etika dan ketidak transparansinya pelayanan dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, Sumber Daya Manusia, informasi, dan sebagainya), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dan sebagainya. Dan tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari aturan hukum dan perundang-undangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistem pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dan sebagainya. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lips service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pembenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan ”beban besar” di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses ”pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
Dilema dalam Beretika Meskipun telah digambarkan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran paradigma etika pelayanan publik, namun itu tidak berarti bahwa paradigma yang terakhir (Administrasi Negara Sebagai Administrasi Negara, 1970) mudah diimplementasikan. Mengapa? Karena didalam praktek kehidupan sehari-hari masih terdapat dilema atau konflik paradigmatis yang cenerung mendatangkan diskusi panjang. Dilema ini menyangkut pandangan absolutis versus relativist dan adanya hierarki etika.
Absolutis vs Relativist. Dalam sistem administrasi publik atau pelayanan publik telah dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan relatif diterima orang. Norma-norma yang bersifat absolut cenderung diterima di mana-mana atau dapat dianggap sebagai universal rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai saat ini di semua atau hampir di semua masyarakat di dunia, yang berfungsi sebagai penuntun perilaku dan standard pembuatan keputusan.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum Relativis. Kaum teleologis (salah satu aliran/pendekatan dalam etika relativis) mengemukakan bahwa tidak ada ”universal moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau memiliki konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti bahwa harus didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa nilai-nilai yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu.
Implikasi dari adanya dilema diatas maka sulit memberi penilaian apakah aktor-aktor pelayanan publik telah melanggar nilai moral yang ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau relativis. Hal yang demikian barangkali telah menumbuhkan suasana KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di negeri kita. Persoalan moral atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan ”interpretasi” semata.
Hierarki Etika. Di dalam pelayanan publik terdapat empat tingkatan etika. Pertama, etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik dan buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara (Shafritz dan Russel, 1997 : 607-608).
Adanya hirarki etika ini cenderung membingungkan keputusan para aktor pelayanan publik karena semua nilai etika dari keempat tingkatan ini saling bersaing. Misalnya menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu sangat tergantung kepada etika yang dianut pejabat yang berkuasa. Bila ia sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului orang yang berasal dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN. Bila ia didominasi oleh etika organisasi, ia barangkali akan melihat kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistem ”senioritas” yang mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi oleh sistem merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang berprestasi.
Dengan demikian, persoalan moral atau etika di dalam konteks ini akhirnya tergantung kepada tingkatan etika yang paling mendominasi keputusan seorang aktor kunci pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain yang mereka percaya atau disegani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh-tokoh kharismatik, ”orang pintar”, dan sebagainya.
D. SOLUSI/LANGKAH-LANGKAH MENGATASI PERBEDAAN ANTARA TEORI DAN KENYATAAN PELAKSANAAN ETIKA DALAM TRANSPARANSI PELAYANAN
Dibutuhkan Kode Etik. Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung dari perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan perubahan jaman.
Kita perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan beretika. Di Amerika Serikat, misalnya kesadaran beretika dalam pelayanan publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, memberi perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
Kedewasaan dan Otonomi Beretika. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya kita selalu memberi perhatian terhadap dilema di atas. Atau dengan kata lain, para pemberi pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukkan suatu kedewasaan dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema tersebut.
Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik. Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap norma-norma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman. Kita juga masih membiarkan diri kita didikte oeh pihak luar sehingga belum terjadi otonomi beretika.
Kadang-kadang, kita juga masih membiarkan diri kita untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana kita bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan tidak terpuji bila itu diterapkan dalam konteks organisasi publik yang menghendaki perlakuan yang sama kepada semua suku. Mungkin tindakan ini tepat dalam organisasi swasta, tapi tidak tepat dalam organisasi publik. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat dimana kita berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan.
Perlindungan dan Insentif Bagi Pengadu. Diantara kita semua ada pihak yang sangat peduli dengan nilai-nilai etika dan moral, melakukan pengaduan tentang pelanggaran moral. Mereka adalah pihak yang berani membongkar rahasia dan menguji tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Namun upaya untuk melakukan hal ini kadang-kadang dianggap sebagai upaya tidak terpuji, bahkan sering dikutuk perbuatannya, dan nasibnya bisa menjadi terancam. Pengalaman ini cenderung membuat mereka takut dan timbul kebiasaan untuk tidak mau ”repot” atau tidak mau ”berurusan” dengan hukum atau pengadilan, yang insentifnya tidak jelas. Akibatnya, peluang dari pihak-pihak yang berpengaruh dalam pelayanan publik terus terbuka untuk melakukan tindakan-tindakan pelanggaran moral dan etika. Karena itu, dalam rangka meningkatkan moralitas dalam palayanan publik, diperlukan perlindungan terhadap para pengadu, kalau perlu insentif khusus.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Pengertian etika,transparansi,pelayanan,dan transparansi pelayanan
Etika (kihajar dewantara) adalah ilmu yang mempelajari segala sosial
kebaikan dan keburukan didalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenal gerak gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan , sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perubahan.
Transparansi adalah adanya keterbukaan dalam suatu lembaga pemerintahan baik dari sisi pelayanannya,keuangan, peraturan perundang-undangan,etika,norma-norma yang berlaku dalam lembaga pemerintahan tersebut serta keterbukaan mengenai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut.
Pelayanan adalah suatu pemberian barang dan jasa oleh pemerintah terhadap masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam arti yang sempit, pelayanan adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu sistem pelayanan yang sehat. Pelayanan ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya.
Transparansi pelayanan adalah suatu tindaka pemberian barang atau jasa kepada masyarakat secara transparansi (keterbukaan) oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar.
2. Arti pentingnya/tujuan etika dalam transparansi pelayanan
menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Kenyataan pelaksanaan etika dalam transparansi pelayanan
kenyataannya diindonesi masih begitu banyak pelanggaran etika dan ketidak transparansinya pelayanan dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, Sumber Daya Manusia, informasi, dan sebagainya), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dan sebagainya.
4. Solusi/langkah-langkah mengatasi perbedaan antara teori dan kenyataan pelaksanaan etika dalam transparansi pelayanan
Dibutuhkan Kode Etik
Kedewasaan dan Otonomi Beretika
Perlindungan dan Insentif Bagi Pengadu
B. SARAN
Terimah kasih telah membaca tugas ini, namun saya menghimbau agar lebih banyak lagi untuk membaca referensi-referensi lain karena masih banyak pembahasan-pembahasan mengenai apa yang di bahas di dalam tugas ini di referensi-referensi lainnya, seperti halnya buku ataupun media elektronik dan media cetak lainnya.
Kami sebagai penyusun tugas ini menyadari bahwa begitu banyak keurangan-kekurangan yang terdapat di dalam tugas ini, oleh karena itu kami mengharapkan keritikan ataupun saran yang sifatnya membangun dan dapat mengembangkan,memperbaiki, dan memajukan tugas ini kedepannya. Keritik dan saran para pembaca akan kami jadikan pelajaran untuk memperbaiki tugas kami kedepannya (selanjutnya) agar bias lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Edi topo. 2003. Upaya Meningkatkan Kinerja Pelayanan Publik di era Persaingan Bebas. Jurnal Forum Inovasi. September-Nopember 2003.
Baedhowi. 2001. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Sistem Manajemen Nasional. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Volume : IX/Nomor 2/Mei/2001.
Berman, E.M. 2003. ”Implementation if Ethics in Organization”. Dalam Encyclopedia of Public Adminisitration and Public Policy. Diedit oleh Jack Rabin. New York, N.Y.: Marcel Dekker. Hal 461-464.
Jurnal Adminsitrasi Publik Volume 3 Nomor 1, Juni 2012/43
Bertens, K. 2001. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Cooper, T.L. 1998. The Responsible Administrator. 4 th Edition. San Fransisco C.A: Jossey-Bass Publisher.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut : Greenwood Press.
Donahue, A.K. 2003. :Ethics and Public Policy”. Dalam Encyclopedia of Public Administration and Public Policy. Diedit oleh Jack Rabin. New York, N.Y.: Marcel Dekker. Hal. 469-473.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar