ETIKA DALAM KAJIAN KEBIJAKAN
PUBLIK DAN PELAYANAN PUBLIK
Dalam beberapa tahun belakangan ini, dimana
persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah sedemikian kompleks akibat krisis
multidimensional, maka bagaimanapun keadaan ini tentu membutuhkan perhatian
yang besar dan penanganan pemerintah yang cepat namun juga akurat agar
masalah-masalah yang begitu kompleks dan berat yang dihadapi oleh pemerintah
segera dapat diatasi. Kondisi ini pada akhirnya menempatkan pemerintah dan
lembaga tinggi negara lainnya berada pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit.
Kebijakan yang diambil tersebut terkadang membantu pemerintah dan rakyat keluar
dari krisis, tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, yakni malahan
mendelegitimasikan pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, dalam kehidupan
moderen seperti sekarang ini, kita tidak dapat lepas dari apa yang disebut
sebagai kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut kita temukan dalam
bidang kesejahteraan sosial, di bidang kesehatan, perumahan rakyat, pertanian,
pembangunan ekonomi, hubungan luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Kebijakan-kebijakan tersebut ada yang berhasil namun banyak juga yang gagal.
Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam
kuliah-kuliah ilmu politik. Salah satu definisi mengenai kebijakan publik
diberikan oleh Robert Eyestone. Ia
mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai
“hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Batasan lain tentang
kebijakan publik diberikan oleh Thomas
R. Dye yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih
pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Namun point penting yang harus diingat dalam mendefinisikan kebijakan
publik adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian
mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam
tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
maka definisi kebijakan publik yang ditawarkan oleh James Anderson lebih relevan. Menurut Anderson kebijakan merupakan
arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Dari definisi di atas, output
dari sebuah kebijakan publik adalah sebuah keputusan yang benar-benar
dilakukan. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik
haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses
pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan
oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik. Sedangkan tujuan dari pelayanan publik adalah menyediakan
barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik
adalah memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan
demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap
publik, kalau perlu melebihi harapan publik.
Definisi Etika
Dalam Ensiklopedi
Indonesia, etika disebut sebagai
“Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan
bagaimana patutnya manusia hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang
buruk”. Sedangkan secara etimologis, etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
kebiasaan atau watak. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah
Etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu
atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan atau watak yang baik maupun
kebiasaan atau watak buruk. Watak baik yang termanifestasikan dalam kelakuan
baik, sering dikatakan sebagai sesuatu yang patut atau sepatutnya. Sedangkan
watak buruk yang termanifestasikan dalam kelakuan buruk, sering dikatakan
sebagai sesuatu yang tidak patut patut atau tidak sepatutnya.
Secara umum etika diartikan sebagai suatu susunan
prinsip-prinsip moral dan nilai. Prinsip-prinsip tersebut kemudian diakui dan
diterima oleh individu dan suatu kelompok sosialsebagai sesuatu yang mengatur
dan mengendalikan tingkah laku individu serta menentukan hal yang baik dan hal
yang buruk dilakukan. Secara konkrit, prinsip-prinsip moral dan nilai tersebut
biasanya diwujudkan dalam bentuk kode etik, yaitu suatu aturan, sistem atu
standar yang memuat prinsip-prinsip mengelola moralitas dan tingkah laku yang
diterima dalam suatu lingkungan masyarakat. (LAN, 2005)
Dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Etika sering
dipersamakan atau dipergunakan secara bergantian dengan istilah Moral, Norma
dan Etiket. Beberapa pakar / kalangan tidak membedakannya secara prinsip,
sedangkan sebagian lain memberikan pembedaan-pembedaan sebagai berikut :
1. Prof. Judistira K. Garna, (Materi Kuliah Etika Kebijakan Publik, LANUNPAD,
1997) dan Wahyudi Kumorotomo (Etika
Administrasi Negara, Rajawali, 1994 : 9)
Moral menyatakan tindakan/ perbuatan lahiriah seseorang, atau daya dorong internal untuk
mengarah kepada perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk. Sedangkan Etika
tidak hanya menyangkut tindakan lahiriah, tetapi juga nilai mengapa dia bertindak demikian. Etika tumbuh dari
pengetahuan seseorang yang diberi makna kesepakatan sosial, dan
dijadikan acuan / tolok ukur moralitas masyarakat.
2. Robert C. Solomon (Etika : Suatu Pengantar, Erlangga : 1987 : 2-18)
Moral menekankan kepada karakter dan sifat-sifat individu
yang khusus (misalnya rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa), diluar
ketaatan pada peraturan. Sedangkan Etika berkenaan dengan dua hal : 1) disiplin
ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai yang dianut manusia beserta
pembenarannya, dan 2) hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
3. William K. Frankena dalam Kumorotomo (1994 : 7)
Etika mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran
filosofis. Moralitas merupakan instrumen kemasyarakatan yang berfungsi sebagai
penuntun tindakan (action guide) untuk segala pola tingkah laku yang
disebut bermoral. Dengan demikian, moralitas akan serupa dengan hukum disatu
pihak dan dengan etiket dipihak lain. Bedanya dengan etiket, moralitas memiliki
pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang ‘kebenaran’ dan ‘keharusan’.
Disamping itu, moralitas juga dapat dibedakan dengan hukum, sebab ia tidak
dapat diubah melalui tindakan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Demikian
pula sanksi dalam moralitas tidak melinatkan paksaan fisik atau ancaman,
melainkan lebih bersifat internal misalnya berwujud rasa bersalah, malu, dan
sejenisnya.
Arti Penting
Etika bagi Administrasi Publik
Sebagaimana diketahui, Birokrasi atau Administrasi Publik
memiliki kewenangan bebas untuk bertindak (discretionary power atau freies
ermessen) dalam rangka memberikan pelayanan umum (public service)
serta menciptakan kesejahteraan masyarakat (bestuurzorg). Untuk itu,
kepada birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah
untuk mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik (public policy).
Seperti yang kita lihat sekarang bahwa aparatur negara yang
merupakaan kepanjangan tangan pemerintah memiliki posisi penting dalam
kaitannya dengan masalah-masalah kemasyarakatan. Kebijakan–kebijakan yang
diambil olehnya akan berdampak luas manakala keputusan itu bertalian dengan
hajat hidup orang banyak/masyarakat luas. Rasionalitas saja terkadang tidak
mampu untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hakiki orang banyak dan tidak jarang
keputusan-keputusan yang baik harus menyertakan pengalaman, intuisi, dan hati
nurani. Bagaimanapun juga falsafah, kearifan dan niat baik akan menjadi
penopang yang paling kokoh bagi para administrator untuk menjaga kewibawaan dan
kredibelitas mereka. Lebih dari itu, dalam persoalan apapun sepanjang
menyangkut hubungan antara dua atau lebih individu, pertanyan-pertanyaan yang
mengandung nilai-nilai filosofis dan moral akan senantiasa relevan.
Tugas pejabat atau pegawai negara tidak bisa disebut mudah.
Sebagaimana banyak ungkapan bahwa setiap orang yang menerima suatu pekerjaan
harus bersedia menerima tanggungjawab yang menyertainya dan mau menanggung
konsekuensi atas setiap kegagalan yang mungkin terjadi, maka pejabat negara pun
harus memikul tanggungjawab seperti itu. Jelas bahwa birokrasi negara hendaknya tidak diisi dengan
orang-orang yang lemah, baik secara rasional maupun secara etis. Sekali lagi
kita harus melihat kenyataan bahwa masyarakat seringkali tidak membedakan
antara masalah-masalah yang mekanistis dan rasionalistis dengan masalah-masalah
yang menyangkut integritas dan moralitas individu yang melaksanakannya. Singkat
kata, jika norma yang melekat pada pejabat negara itu dibedakan menurut ruang
lingkup organisatoris maka mereka harus menaati kaidah-kaidahnya secara
internal maupun eksternal. Sebagai bagian dari organisasi publik mereka wajib
menaati aturan main yang terdapat didalamnya. Dan sebagai anggota masyarakat
mereka wajib mengusahakan kesejahteraan untuk bagian terbesar masyarakat.
Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak
dibentuk oleh 5 (lima) norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi,
norma keluarga, serta norma-norma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma
atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yangmemegang jabatan
tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai
unsur pemerintah (Bayu Suryaningrat,
1984: 94).
Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang
harus ditaati oleh seorang pejabat sebagai anggota suatu komunitas sosial. Norma
profesi adalah peraturan-peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota suatu
organisasi profesi dalam rangka berinteraksi dengan anggota interrn organisasi
maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan suatu kondisi
mental seseorang untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga.
Keseluruhan norma diatas harus benar-benar dipahami oleh
aparatur pemerintah, dengan tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada
salah satunya. Manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma tersebut,
diharapkan praktek pelayanan publik-pun tidak akan bersifat pilih kasih atau
pandang bulu. Semua lapisan masyarakat membutuhkan pelayanan birokrasi (public
service), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah sikap keadilan (equity)
dari para birokrat. Political will pemerintah untuk menciptakan sosok
birokrasi yang memiliki perilaku terpuji ini sebenarnya telah dilaksanakan
secara sistematis.
Kebijakan
Publik dalam Pertimbangan Etika
Pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi publik
melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan
merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (constituency), para pemimpin politik, teknokrat, birokrat, atau administrator, serta para pelaksana di
lapangan. Tolok ukur keberhasilan pranata publik yang harus diperhatikan,
setelah bangsa kita mengalami peningkatan kemakmuran ekonomis yang cukup besar,
ialah terwujudnya keadilan sosial. Nilai
keadilan sosial yang ingin dicapai dengan tujuan tersusunnya suatu masyarakat
yang seimbang dan teratur sehingga seluruh warga negara memperoleh kesempatan
guna membangun kehidupan yang layak dan mereka yang lemah kedudukannya akan
mendapatkan bantuan seperlunya. Para pengambil keputusan hendaknya menyadari
bahwa ditengah bergeloranya pembangunan yang dilancarkan ternyata masih
terdapat kelompok-kelompok yang sangat tertinggal dalam mengembangkan dirinya,
dan lebih celaka lagi mereka tidak punya
kemampuan meneriakkan derita dan penindasan yang mereka alami. Mereka adalah
para penghuni permukiman kumuh, buruh tani, buruh nelayan, dan para pemulung di
kota-kota yang semakin sesak.
Dalam proses pembangunan di segala sektor, aparat negara
acapkali mengambil kebijakan-kebijakan yang terwujud dalam berbagai keputusan
yang mengikat masyarakat umum degan tujuan demi tercapainya tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi. Keputusan-keputusan-keputusan semacam itu
tidak jarang dapat membuka kemungkinan dilanggarnya hak-hak asasi warga negara
akibat adanya pendirian sementara pejabat yang tidak rasional atau program-program yang tidak mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Bukan
rahasi lagi bahwa di negara kita ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis,
stabilitas, dan security sering
mengalahkan pertimbangan-pertimbangan aspirasi masyarakat dan hak asasi mereka
sebagai warga negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi
oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis pejabat
tertentu. Sesungguhnya sudah saatnya bagi kita untuk lebih memperhatikan
kehendak rakyat yang sebenarnya sekaligus untuk mendidik mereka agar terlibat
dalam gerak pembangunan dengan sepenuh hati.
Proses perumusan (formulation) dan penerapan (implementation)
kebijakan publik hendaknya juga harus dilakukan sebaik mungkin, sebab suatu
kebijakan pemerintah tidak hanya mengandung konsekuensi yuridis semata, tetapi
juga konsekuensi etis atau moral. Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik
berisi perintah (keharusan) atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah
atau melaksanakan perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan
sanksi tertentu pula. Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik.
Dengan kata lain, pendekatan yuridis terhadap kebijakan publik kurang
memperhatikan aspek dampak dan/ atau kemanfaatan dari kebijakan tersebut.
Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa kebijakan pemerintah sering ditolak
oleh masyarakat (public veto) karena kurang mempertimbangkan dimensi etis dan
moral dalam masyarakat. Beberapa contoh konkrit kebijakan yang tidak populer
dimata masyarakat adalah pembangunan waduk, pengurangan/ penghapusan subsidi
BBM/ TDL, peningkatan tunjangan struktural pejabat tinggi, pembentukan
lembaga-lembaga ekstra struktural yang membebani anggaran, dan sebagainya.
Dikaitkan dengan definisi etika sebagaimana disebutkan
diatas, maka suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan
nilai-nilai benar – salah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi
nilai-nilai baik – buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum
tentu baik secara moral dan etis. Mengingat kelemahan dalam pendekatan yuridis
yang selama ini diterapkan, maka perlu dikembangkan pendekatan baru dalam
perumusan kebijakan publik, yakni pendekatan etika / moral. Konsekuensi dari
pendekatan baru ini adalah bahwa suatu kebijakan publik harus mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Keterikatannya untuk menjamin terselenggaranya kepentingan/
kesejahteraan rakyat banyak.
2. Keterikatannya dengan upaya untuk memajukan daerah/ tanah
air dimana kebijakan tersebut dirumuskan.
Gambaran diatas mengindikasikan bahwa sempurnanya suatu
tugas atau fungsi aparatur pemerintah (baik individu maupun organisasi)
ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya.
Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan (knowledge)
saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati
masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun
sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).
Pentingnya Etika dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan
administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator
sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan
publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi –
politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada
keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan
publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus
terhadapn“permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan.
Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak
semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan
prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya
terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum
(lihat Henry, 1995: 400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan
adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus
dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung
jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah
diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan
politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana,
kapan, dsb. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak
memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai.
Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji
pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya
benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok,
partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang
birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki
“independensi” dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada
“otonomi dalam beretika”.
Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan didalam
birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi
perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi (organizational
humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur tentang
aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar
manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota
organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap
manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan
dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat
publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan
khusus. Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip
“kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang
perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan
ketidakadilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah
tertentu yang relatif lebih maju. Kebijakan affirmative action dalam
hal ini merupakan terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang
yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dsb., untuk menjadi
pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral
choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice
– as – fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi
kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya
memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap
anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan “putera
daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat ini.
Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan
publik sangat besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana
dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan
dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik
pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini
mendorong pemberi pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang
didasarkan kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan
inilah yang sering menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat
pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku
yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia,
pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik
(pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas
kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur,
formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu,
proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari
perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya
itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel,
tidak adil, dsb. Dan tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika
ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita.
Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari
kelemahan aturan hukum dan perundangundangan kita, sikap mental manusia,
nilai-nilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latarbelakang
kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan, kedewasaan
dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama
ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi
pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar”
di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses
“pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
Dilema dalam
Beretika
Meskipun telah digambarkan bahwa dalam perkembangannya telah
terjadi pergeseran paradigma etika, namun itu tidak berarti bahwa paradigma
yang terakhir mudah diimplementasikan. Karena didalam praktek kehidupan
sehari-hari masihterdapat dilema atau konflik
paradigmatis yang cenderung mendatangkan diskusi panjang. Dilema ini
menyangkut pandangan absolutis versus relativis dan adanya hierarki etika.
Dalam sistim administrasi publik atau pelayanan publik telah
dikenal norma-norma yang bersifat absolut dan relatif diterima orang.
Norma-norma yang bersifat absolut cenderung diterima di mana-mana atau dapat
dianggap sebagai universal rules. Norma-norma ini ada dan terpelihara sampai
saat ini di semua atau hampir di semua masyarakat di dunia, yang berfungsi
sebagai penuntun perilaku dan standard pembuatan keputusan. Kaum deontologis
(salah satu pendekatan dalam etika) menilai bahwa norma-norma ini memang ada
hanya saja manusia belum sepenuhnya memahami, atau masih dalam proses
pemahaman. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama dan filsafat
hidup, dan perlu dipertahankan karena memiliki pertimbangan atau alasan logis
untuk dijadikan dasar pembuatan keputusan. Misalnya dalam pelayanan publik
diperlukan norma tentang kebenaran (bukan kebohongan), pemenuhan janji kepada
publik, menjalankan berbagai kewajiban, keadilan, dsb., merupakan justifikasi
moral yang semakin didukung masyarakat di mana-mana. Melalui proses konsensus
tertentu, norma-norma tersebut biasanya dimuat dalam konstitusi kenegaraan yang
daya berlakunya relatif lama. Mereka yang yakin dengan kenyataan ini dapat
digolongkan sebagai kaum absolutis.
Sementara itu, ada juga yang kurang yakin dengan keabsolutan
norma-norma tersebut. Mereka digolongkan sebagai kaum Relativis. Kaum
teleologist (salah satu aliran /pendekatan dalam etika relativis) mengemukakan
bahwa tidak ada “universal moral”. Suatu norma dapat dikatakan baik kalau
memiliki konsekuensi atau outcome yang baik, yang berarti bahwa harus
didasarkan pada kenyataan. Dalam hal ini kaum relativis berpendapat bahwa
nilai-nilai yang bersifat universal itu baru dapat diterima sebagai sesuatu
yang etis bila diuji dengan kondisi atau situasi tertentu. Misalnya, berbohong
adalah norma universal yang dinilai tidak baik. Tetapi bila berbohong ternyata
membawa hasil yang baik, maka berbohong itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai
melanggar norma etika. Sebaliknya menceriterakan kebenaran itu baik. Akan
tetapi bila menceriterakan kebenaran akan membawa konsekuensi yang jelek, maka
menceriterakan kebenaran itu sendiri tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang
etis. Karena itu, kaum teleologis ini berpendapat bahwa tidak ada suatu prinsip
moralitas yang bisa dianggap universal, kalau belum diuji atau dikaitkan dengan
konsekuensinya.
Implikasi dari adanya dilema diatas maka sulit memberi
penilaian apakah aktor-aktor pelayanan publik telah melanggar nilai moral yang
ada atau tidak, tergantung kepada keyakinannya apakah tergolong absolutis atau
relativis. Hal yang demikian barangkali telah menumbuhkan suasana KKN di negeri
kita. Persoalan moral atau etika akhirnya tergantung kepada persoalan “interpretasi”
semata.
Hierarki Etika, di dalam pelayanan publik terdapat empat
tingkatan etika. Pertama,etika atau moral pribadi yaitu yang memberikan teguran
tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara
lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman
masa lalu. Kedua adalah etika profesi, yaitu serangkaian norma atau aturan yang
menuntun perilaku kalangan profesi tertentu. Ketiga adalah etika organisasi
yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang
menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan. Dan
keempat, etika sosial, yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan
anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga
atau terpelihara (Shafritz &
Russell, 1997: 607-608).
Adanya hirarki etika ini cenderung membingungkan keputusan
para aktor pelayanan publik karena semua nilai etika dari keempat tingkatan ini
saling bersaing. Misalnya, menempatkan orang dalam posisi atau jabatan tertentu
sangat tergantung kepada etika yang dianut pejabat yang berkuasa. Bila ia
sangat dipengaruhi oleh etika sosial, ia akan mendahului orang yang berasal
dari daerahnya sehingga sering menimbulkan kesan adanya KKN. Bila ia didominasi
oleh etika organisasi, ia barangkali akan melihat kebiasaankebiasaan yang
berlaku dalam organisasi seperti menggunakan sistim “senioritas” yang
mengutamakan mereka yang paling senior terlebih dahulu, atau mungkin didominasi
oleh sistim merit yang berarti ia akan mendahulukan orang yang paling
berprestasi.
Dengan demikian, persoalan moral atau etika didalam konteks
ini akhirnya tergantung kepada tingkatan etika yang paling mendominasi
keputusan seorang aktor kunci pelayanan publik. Konflik antara nilai-nilai dari
tingkatan etika yang berbeda ini sering membingungkan para pembuat keputusan
sehingga kadang-kadang mereka menyerahkan keputusan akhirnya kepada pihak lain
yang mereka percaya atau segani seperti pejabat yang lebih tinggi, tokoh-tokoh
karismatik, “orang pintar”, dsb.
Sumber
Refrensi
Kumorotomo,
Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara.
Jakarta: CV Rajawali
Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc.
LAN RI. 2005. Sistem Administrasi
Negara RI. Jakarta: Haji Masagung.
Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell.
1997. Introducing Public Administration.
New York, N.Y.:
Longman.
Winarno, Budi. 2007.Kebijakan Publik Teori dan Proses.
Yogyakarta: MedPress.
http://putratrihidayat.blogspot.com/2011/05/etika-dalam-kajian-kebijakan-publik-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar